Setelah Ummul Mukminin Khadijah wafat, Rasulullah menikahi seorang perempuan yang telah berusia. Dialah Saudah binti Zam’ah. Seorang wanita Quraisy yang dicintai Aisyah radhiallahu ‘anha. Berikut ini kisah tentang beliau.
Mengenal Ibunda Saudah
Namanya adalah Saudah binti Zam’ah bin Qays bin Abdusy Syams al-Qurasyiyah al-Amiriyah. Ibunya adalah asy-Syamus binti Qays bin Amr. Beliau adalah istri kedua Nabi Muhammad dan termasuk orang yang pertama-tama menyambut dakwah Islam yang dibawa nabi. Tentu ini keutamaan yang sangat besar.
Ummul Mukminin Saudah dilahirkan di Mekah dari keluarga keturunan Quraisy. Sebelum menikah dengan Rasulullah, suaminya adalah sepupu jauh Rasulullah, namanya Sukran bin Amr bin Abdusy Syams radhiallahu ‘anhu. Ia adalah saudara dari sahabat Sahl, Suhail, Sulaith, dan Hatib radhiallahu ‘anhum. Dari pernikahan pertamanya, Saudah memiliki seorang anak laki-laki dari pernikahannya ini. Namanya Abdullah. Ia bersama suaminya dan saudaranya Malik bin Zam’ah turut hijrah ke Habasyah pada hijrah yang kedua. Sekembalinya dari Habasyah ke Mekah, Sukran wafat. Peristiwa ini sebelum hijrah ke Madinah (Ibnu Sayyid an-Nas: ‘Uyun al-Atsar, 2/381).
Setelah sang suaminya wafat, Saudah hidup seorang diri di tengah keluarga suaminya yang masih musyrik. Ayahnya juga masih dalam kemusyrikan. Demikian juga saudaranya, Abdullah bin Zam’ah, juga masih berada di atas agama nenek moyang. Inilah keadaan Saudah sebelum dinikahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menikah Untuk Kali Kedua
Wafatnya Khadijah radhiallahu ‘anha menyisakan kesedihan yang mendalam di rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terlebih wafat Khadijah hampir bersamaan dengan wafatnya sang paman, Abu Thalib.
Dalam campur aduk suasana kesepian dan kesedihan, anak dan rumah yang kehilangan pengurusnya, para sahabat merasa sedih dan peduli dengan apa yang menimpa nabi. Mereka mengirim Khaulah bin Hakim as-Salimah radhiallahu ‘anha, istri dari Utsman bin Mazh’un, untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khaulah datang untuk memotivasi nabi, agar tertarik untuk menikah lagi.
Khaulah radhiallahu ‘anha datang dan berkata kepada Nabi, “Hai Rasulullah, tidakkah Anda ingin menikah?”
“Dengan siapa?” balas Rasulullah.
“Kalau Anda mau dengan seorang gadis. Atau bisa juga dengan seorang janda.”, jawab Khaulah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Kalau dengan gadis siapa? Dan kalau janda siapa?”
Khaulah menjawab, “Kalau gadis, dia adalah putri dari makhluk Allah yang paling Anda cintai, yaitu Aisyah. Kalau janda Saudah binti Zam’ah. Ia telah beriman pada Anda dan mengikuti Anda.”
Rasulullah bersabda, “Sampaikanlah padanya dariku.”
Khaulah pun berangkan menuju Saudah. Ia berkata, “Betapa besar kebaikan dan keberkahan yang akan Allah anugerahkan kepadamu.”
“Apa itu?” tanya Saudah.
“Rasulullah mengutusku untuk melamarmu”, kata Khaulah.
Saudah menanggapi, “Aduh.. mari temui ayahku dan sampaikanlah kepadanya tentang hal ini.”
Perlu diketahui, ayah Saudah adalah Zam’ah bin al-Aswad, salah seorang yang berjasa membebaskan Bani Hasyim dari boikot Quraisy selama tiga tahun. Za’ah adalah laki-laki yang sudah sangat tua, ia baru pulang karena tak mampu menuntaskan rangkaian manasik hajinya.
Khaulah menemui Zam’ah, ia ucapkan salam sapa ala tradisi Arab. Karena Zam’ah bukanlah seorang muslim. Zam’ah berkatan, “Siapa itu?”
“Khaulah binti Hakim”, jawabnya.
“Apa keperluanmu?” tanya Zam’ah.
“Aku diutus oleh Muhammad bin Abdullah untuk melamarkan Saudah untuknya.”, jawab Khaulah.
“Orang yang sekufu dalam kemuliaan. Apa jawab temanmu? (maksudnya Saudah)”, tanya Zam’ah.
“Ia senang dengan hal ini.”, jawabnya.
“Panggil dia untuk menemuiku”, pinta Zam’ah. Khaulah pun memanggilnya.
Zam’ah berkata, “Hai putriku. Ini adalah suatu kehormatan, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib mengutus seseorang untuk melamarmu. Ia sekufu dalam kemuliaan. Apa kau mau aku menikahkanmu dengannya?”
“Iya”, jawab Saudah.
“Panggillah dia ke sini”, pinta Zam’ah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang. Dan Zam’ah menikahkan putrinya dengan Rasulullah.
Tidak lama, datanglah saudara Saudah, Abd bin Zam’ah yang baru selesai menunaikan haji. Melihat saudarinya telah dinikahi Rasulullah, ia tabur debu di atas kepalanya sebagai tanda penyesalan. Di kemudian hari, setelah ia masuk Islam, ia berkata, “Demi umurmu (wahai Nabi), sungguh aku sangat bodoh sekali saat menaburkan debu di atas kepalaku karena Rasulullah menikahi Saudah binti Zam’ah.” (Ibnu Katsir: as-Sirah an-Nabawiyah) 2/142-143).
Di Rumah Tangga Nabawi
Ummul Mukminin Saudah menjadi istri pertama nabi setelah wafatnya Khadijah. Ada yang menyebutkan saat itu usianya sudah menginjak 55 tahun. Sementara Rasulullah sendiri baru berusia lima puluh tahun. Saat orang-orang Mekah mendengar kabar pernikahan ini, mereka keheranan. Karena Saudah bukanlah perempuan yang cantik dan berkedudukan. Dan bukanlah wanita yang dapat diajak bersenang-senang (karena sudah tua pen.). Mereka yakin, hal itu dilakukan Muhammad bin Abdullah untuk menyantuninya, membantunya, dan menjaga keislamannya. Terutama setelah suaminya wafat sepulangnya dari Habasyah. Mereka yakin, pernikahan ini adalah bertujuan sosial. Dengan demikian, pernikahan Rasulullah dengan Saudah adalah sanggahan kepada mereka yang menuduh Rasulullah dengan tuduhan keji. Seandainya benar apa yang mereka katakan, tentunya beliau akan memilih gadis muda setelah ditinggal istrinya.
Kemuliaan Saudah
Ummul Mukminin Saudah binti Zam’ah memiliki banyak karakter mulia. Ia merupakan sorang wanita yang mudah memberi dan bersedekah. Umar bin al-Khattab pernah memberinya sebuah wadah yang dipenuhi Dirham. Saudah berkata, “Apa ini?” “Ini sejumlah Dirham”, jawab orang-orang. “Di sebuah wadah kurma?” komentarnya. Kemudian ia bagi-bagikan uang itu kepada orang-orang miskin.
Ummul Mukminin Aisyah sangat menyukainya. Karena ia rela memberikan jatah malam Rasulullah di rumahnya, diberikan kepada Aisyah. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim:
“لَمَّا كَبِرَتْ جَعَلَتْ يَوْمَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ لِعَائِشَةَ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ جَعَلْتُ يَوْمِي مِنْكَ لِعَائِشَةَ. فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَقْسِمُ لِعَائِشَةَ يَوْمَيْنِ: يَوْمَهَا وَيَوْمَ سَوْدَةَ
“Ketika Saudah sudah tua, ia serahkan jatah menginap Rasulullah di rumahnya, untuk Aisyah. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku berikan hari giliranku bersamamu untuk Aisyah’. Sehingga Rasulullah memberikan jatah dua hari untuk Aisyah. Hari gilirannya dan harinya Saudah.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab an-Nikah 4914 dan Muslim dalam Kitab ar-Ridha’ 1463).
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
مَا رَأَيْتُ امْرَأَةً أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أَكُونَ فِي مِسْلاَخِهَا[5] مِنْ سَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ مِنِ امْرَأَةٍ فِيهَا حِدَّةٌ].
“Tiada seorang wanita pun yang paling aku sukai agar aku memiliki sifat seperti dia melebihi Saudah binti Zam’ah tatkala berusia senja.” (Riwayat Muslim dalam Kitab ar-Ridha’ 1463).
Wafatnya
Ummul Mukminin Saudah binti Zam’ah radhiallahu ‘anha wafat di akhir pemerintahan Umar bin al-Khattab. Ada yang mengatakan beliau wafat pada tahun 54 H (Ibnu Hajar: al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, 7/721).
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com