Agama adalah kebutuhan masyarakat yang paling mendasar. Tanpa agama seseorang bisa tersungkur jatuh. Tak ada pegangan menjalani kehidupan. Sadar agama sebagai kebutuhan mendasar, sebagian orang memanfaatkan peluang ini untuk mencari dunia. Menjadikan agama sebagai bisnis. Pendakwah pun tampil bak seorang artis. Mereka yang ingin berkuasa, menjadikan agama sebagai alat menarik masa. Ibadah-ibadah dijadikan peluang untuk menambah pundi-pundi kekayaan. Wal ‘iyadzubillah.. mudah-mudahan Allah menjaga kita dari yang demikian.
Allah berfirman,
وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
“Janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa..” (QS. Al-Baqarah: 41).
Sekarang kita dihebohkan dengan sebuah travel haji dan umrah yang menipu jamaahnya. Yang omzetnya di tahun 2014 mencapai 20 juta Dollar AS. Kemudian 2015 berlipat-lipat, diprediksi mencapai 60 juta Dollar AS. Jumlah nominal yang wow! Melihat kondisi ini, ada yang nyeletuk dengan kalimat sarkas, “Karena agama adalah bisnis yang menguntungkan. Mau kaya? Gunakan agama!”
Tidak hanya mencari rupiah, agama juga dimanfaatkan orang untuk menarik masa. Contohnya memanfaatkan kedudukan Keluarga Nabi untuk menggaet masa. Keluarga Nabi memang magnet yang luar biasa. Sehingga banyak orang memanfaatkan hal ini. Mencari ketokohan, dengan nasab tersambung kepada Nabi. Menarik masa, dengan mengaku mencintai dan pengikut keluarga Nabi. Walaupun kenyataan bisa jauh berbeda. Hal ini bisa kita lihat pada sekte Syiah. Mereka “menjual” cinta ahlul bait untuk menarik simpati. Padahal kecintaan mereka dusta.
Mengkhianati Ali bin Abu Thalib
Ali mengeluhkan pasukan dan simpatisannya dari kalangan penduduk Kufah dan Irak. Berikut beberapa kutipan kekecewaan Ali terhadap para pendukungnya (Syiah-nya).
Wahai penduduk Kufa, setiap kali kalian mendengar sekelompok pasukan dari penduduk Syam datang menuju kalian, kalian malah berlarian masuk ke rumah masing-masing dan menutup pintu. Layaknya biawak masuk ke lubangnya dan dhab masuk ke sarangnya. Orang yang tertipu adalah orang yang bisa kalian tipu. Orang yang menang atas kalian, benar-benar menang atas panah yang paling meleset. Di antara kalian tidak ada orang merdeka saat perang. Dan tidak ada kawan terpercaya di saat damai. Innna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Setiap kali sesuatu kuharapkan dari kalian, kalian buta dan tidak melihat. Bisu tidak bisa berbicara. Dan tuli tidak bisa mendengar. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (Tarikh ath-Thabari, 5/133-134).
Sampai separah inilah kondisi yang dihadapi Ali bin Abi Thalib di tengah penduduk Irak.
Di kesempatan lain, Ali membandingkan Syiahnya dengan Syiah (pendukung) Muawiyah. Ia mengatakan, “Aku berada di antara pasukan terburuk dan paling membangkang. Sedangkan Muawiyah berada di antara pasukan terbaik dan paling taat.” Bahkan diriwayatkan Ali mengatakan, “Aku berharap seandainya Allah mengganti setiap sepuluh orang dari kalian dengan satu orang Syam.”
Penduduk Syam adalah pasukan Muawiyah.
Saking patuhnya penduduk Syam terhadap pemimpin mereka, sejarawan yang cenderung Syiah pun mengarang-ngarang berita bohong. Seperti al-Mas’udi dalam Murawwij adz-Dzahab menyatakan bahwa penduduk negeri Syam itu bodoh. Mereka tidak bisa membedakan antara an-Naqah dengan al-Jamal. Muawiyah mengimami mereka shalat Jumat di hari Rabu, saat menuju Shiffin, tapi mereka tidak menentang.
Mengkhinati al-Hasan bin Ali
Setelah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu wafat, para pendukungnya (Syiah-nya), mengangkat putranya al-Hasan radhiallahu ‘anhu menggantikan posisinya. Sejak mula, al-Hasan memang tidak menginginkan peperangan dengan Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu. Karena situasi dan kondisi tidak berpihak pada sang ayah.
Saat al-Hasan tiba di Mada-in, seorang penduduk Irak mengabarkan bahwa salah seorang sahabat Ali bin abi Thalib, Qais bin Saad bin Ubadah, terbunuh. Kabar itu membuat kekacauan di pasukan al-Hasan yang hendak berangkat menemui Muawiyah. Penduduk Irak ini kembali ke karakter asli mereka: tidak teguh pendirian. Mereka malah menyerbu tenda al-Hasan serta menjarah barang-barangnya. Sampai karpet yang mengalasi tendanya pun mereka ambil. Bahkan, mereka tega menusuk Hasan hingga terluka.
Melihat sikap dan perilaku pasukannya, al-Hasan meyakini bahwa mereka sama sekali tidak bisa diharapkan. Tiada kemenangan yang bisa diharapkan dari orang-orang seperti itu. Terbuktilah penilaiannya sejak semula tentang mereka.
Sementara itu, wali kota Mada-in yang diangkat Ali, Saad bin Mas’ud ats-Tsaqafi, tiba-tiba didatangi al-Mukhtar bin Abu Ubaid bin Mas’ud, keponakannya yang masih muda. Si keponakan bertanya, “Apakah paman menginginkan lebih banyak kekayaan dan kemuliaan?”
“Apa maksudmu?” tanya Saad.
“Paman menyerang al-Hasan dan menyerahkannya kepada Muawiyah”, jawab al-Mukhtar.
Sang paman menghardik, “Engkau pantas dikutuk Allah! Apakah aku tega menyerang anaknya putri Rasulullah, lantas menyerahkannya? Orang paling buruk adalah engkau ini!” (Tarikh ath-Tabari, 5/159).
Tahukah Anda siapakah al-Mukhtar bin Ubaid ini? Dialah yang kemudian hari mengklaim sebagai pendukung Ahlu Biat (keluarga Nabi). Dan menuntut balas atas pembunuhan al-Husain, padahal yang ia lakukan hanyalah kemunafikan guna menutupi tujuan utamanya, yakni kekuasaan (Lathif: 2014: 132).
Mengkhiantai Husein bin Ali
Tentang pengkiantaan penduduk Irak yang merupakan pendukung Ali dan al-Hasan, telah kami ulas lengkap di artikel Syahidnya Husein Radhiallahu ‘anhu di Padang Karbala.
Penutup
Dari paparan singkat di atas, kita mengetahui, kedok agama tidak hanya digunakan orang untuk meraup dunia saja. Akan tetapi digunakan juga untuk menyebarkan ideologi sesat yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Lalu bagaimana sikap kita? Sikap kita hendaknya jangan tertipu dengan nama. Tapi pahamilah hakikat. Seorang yang mengklaim mengikuti keluarga Nabi, tidak langsung kita terima mentah-mentah. Bisa jadi hakikatnya merusak Islam dari dalam. Seseorang yang mengaku moderat dan bijak, lihat dulu hakikatnya, bisa jadi hakikatnya seruan meninggalkan ajaran agama.
Daftar Pustaka
– Lathif, Abdussyafi Muhammad Abdul. 2014. al-‘Alam al-Islami fi al-‘Ashri al-Umawi. Terj, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah bani Umayyah. Jakarta: Al-Kautsar
– Tarikh ath-Thabari.
Oleh Nurfitri Hadi (nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com