Kisah Nabi Muhammad

Mendirikan Negara Madinah

Sejak hijrah ke Madinah, Rasulullah memiliki orientasi dan cara pandang yang berbeda dalam membangun masyarakat dibanding saat di Mekah. Selama tiga belas tahun di Mekah, Nabi fokus membangun individu. Namun saat tiba di Madinah, beliau berubah ke orientasi lebih luas, beliau memiliki visi membangun negara.

Nabi ingin membangun komunitas besar yang berbeda dari tradisi-tradisi Arab sebelumnya. Orang-orang Arab membangun komunitas mereka berdasarkan fanatisme suku atau letak geografis. Kali ini tidak. Beliau membangun negara berdasarkan ideologi. Berdasarkan wahyu Alquran dan sunnah dengan nilai peradaban yang unggul. Karena itu, negara ini disebut Madinah.

Tujuan dari berdirinya negara ini adalah mengokohkan akidah yang benar, menegakkan syariat, dan mewujudkan persatuan serta kesatuan kaum muslimin.

Tiba di Quba

Pada tanggal 12 Rabiul Awal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di wilayah Quba yang terletak di bagian Selatan Madinah. Sejumlah besar orang-orang Anshar menyambut beliau. Mereka bawa serta senjata mereka untuk melindungi Rasulullah sedari pertama beliau menginjakkan kaki di sana. Itulah janji mereka di Baitul Aqobah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Quba selama dua pekan atau lebih. Saat itulah beliau dan para sahabat membangun masjid pertama, yaitu Masjid Quba.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan perjalanan. Tiba di Madinah, beliau tinggal di lingkungan keluarga beliau, Bani Najjar. Setelah itu, beliau membiarkan ontanya berjalan menuju titik yang Allah pilih untuk membangun peradaban. Di tempat itulah beliau membangun Masjid Nabawi dan rumahnya yang berdekatan dengan masjid. Selama pembangunan masjid, beliau tinggal di rumah sahabat Abu Ayyub al-Anshari selama tujuh bulan.

Kondisi Madinah di Awal Hijrah

Madinah memiliki komposisi penduduk yang berbeda dengan Mekah. Sebelum Nabi hijrah ke sana, sudah ada dua kelompok besar masyarakat penghuni Madinah. Orang Arab dan Orang Yahudi. Secara garis besar, suku-suku Arab di Madinah adalah bagian dari suku besar Aus dan Khazraj. Sementara Yahudi terdiri dari tiga suku besar; Kabilah Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Mereka semua keturunan Israil (Nabi Ya’qub ‘alaihissalam).

Kabilah-kabilah tersebut hidup dalam permusuhan. Orang-orang Arab tidak menyukai Yahudi, demikian juga sebaliknya. Kemudian sesama Arab, antara Aus dan Khazraj juga memiliki Sejarah persengketaan yang panjang. Demikian juga sesama kabilah Yahudi, mereka tidak hidup rukun berdampingan. 

Kelompok lainnya adalah minoritas umat Islam yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Jumlah kaum muslimin saat itu tidak lebih dari 1000 orang. Menurut Raghib as-Sirjani hafizhahullah jumlah ini hanya 13% atau 14% dari total keseluruhan penduduk Madinah. Meskipun minoritas, namun kepemimpinan Kota Madinah dipegang oleh kaum muslimin. Menunjukkan wibawa dan kehormatan mereka yang benar-benar berpegang teguh dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Inilah kondisi sosial masyarakat Madinah yang dihadapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal hijrahnya. Sejak awal, Rasulullah langsung membuat kebijakan yang sangat visioner untuk menghadapi isu ini. Menunjukkan kemampuan leadership beliau yang sangat luar biasa.

Masalah Penduduk Mekah Sebagai Imigran

Keluarnya penduduk Mekah menuju Madinah bukan sekadar hijrah fisik saja. Mereka meninggalkan segalanya di Mekah. Mereka meninggalkan tempat tinggal, harta benda, pekerjaan, dan barang-barang miliki mereka yang lainnya. 

Artinya, kondisi mereka di Madinah benar-benar memulai hidup dari awal. Kalau tidak didukung kebijakan yang tepat, kedatangan mereka di Madinah selain menimbulkan lonjakan penduduk juga akan menimbulkan masalah sosial; kemiskinan, pengangguran, homeless, dll. 

Kebijakan seperti apa yang dikeluarkan Rasulullah agar kedatangan Muhajirin tidak menimbulkan masalah:

Pertama: Mengubah Pola Pikir

Rasulullah memotivasi kaum Anshar bahwa hubungan sesama manusia itu tidak selalu bersifat timbal balik sesama manusia. Tapi ada yang lebih besar dari itu, yaitu pahala di akhirat. Beliau juga sampaikan persaudaraan itu lebih luas dari sebatas hubungan nasab, tapia da saudara seagama. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Dia tidak boleh menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, Allah akan membantu kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutupi (aibnya) pada hari kiamat.” [HR. Al-Bukhari 2622].

Untuk muhajirin, Rasulullah menekankan bahwa hijrah ini bukan sekadar bebas dari kekuasaan dan cengkraman penguasa Mekah. Tapi ini adalah perjalanan keimanan. Seorang yang berhijrah harus banyak menyerahkan diri kepada Allah dan berharap pahala dari-Nya dari setiap rintangan yang dihadapi.

Kedua: Kekuatan Persaudaraan

Tali persaudaraan adalah ikatan emosional yang sangat kuat. Seseorang akan menaruh perhatian dan memberikan cinta yang lebih terhadap saudara mereka dibanding orang lain. Selain mempersaudarakan Anshar dan Muhajirin secara ideologi, Rasulullah juga mempersaudarakan dua kelompok ini seperti layaknya saudara biologis. Semakin bertambahlah rasa cinta, perhatian, dan persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar.

Saat itu, syariat mewajibkan bagi setiap rumah dari Anshar bertanggung jawab atas seorang Muhajirin. Mereka pun saling mewarisi antara satu dengan yang lain. Hingga turun firman Allah Ta’ala yang membatalkan hal tersebut.

 وَأُو۟لُوا۟ ٱلْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۢ

“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Quran Al-Anfal: 75].

Masyarakat modern saat ini sangat menyadari bahwa kedatangan gelombang besar imigran ke negeri mereka bisa menimbulkan rentetan masalah. Karena itu, mereka menolak kedatangan imigran. Mereka berupaya menghindari masalah-masalah dengan kebijakan penolakan tersebut. 

Di sisi lain, Rasulullah dihadapkan pada masalah tersebut. Dengan kepemimpinan dan visi yang beliau miliki sebagai seorang pemimpin, beliau mampu menghindarkan Madinah dari masalah-masalah tersebut. Kebijakan persaudaraan yang dilakukan Rasulullah ini membuat Madinah terhindar dari sekian banyak masalah yang biasanya muncul di suatu daerah yang kedatangan gelombang imigran.

Ketiga: Mempercepat Proses Adaptasi

Rasulullah menulis perjanjian Madinah. Di antara butir-butir perjanjian memberikan indikasi kuat status Muhajirin adalah sebagai penduduk (kebangsaan) Madinah. Karena mereka diwajibkan membela Madinah (bela negara) dari ancaman pihak luar yang menyerang. Karena kewajiban mereka sama dengan warga negara Madinah yang lain, mereka juga layak mendapatkan hak yang sama.

Dengan status yang jelas di Madinah, para sahabat tidak lagi memikirkan Mekah. Mereka sekarang penduduk Madinah dan warga negara Madinah. Karena itu, mereka harus segera beradaptasi dengan tanah air yang baru. 

Inilah di antara upaya awal yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau langsung menetapkan ideologi negara. Visi misi negara dan masyarakatnya. Membangun persatuan sebagai modal kekuatan dan identitas. Dll. Semua ini bukti tentang kemampuan leadership yang kuat dari nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Flashdisk Video Belajar Iqro - Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28